Oleh Mutiara Ramdani kib 2010
"Kami telah muliakan keturunan Adam. Kami telah menyediakan angkutan untuk mereka di darat dan di laut. Kami telah memberi rezeki yang baik untuk mereka. Kami telah mengutamakan mereka dengan suatu keutamaan dari kebanyakan makhluq ciptaan Kami."
(QS : 17 : 70)
Dalam pembukaan UUD 45 disebutkan bahwa kemerdekaan yang diperoleh oleh bangsa Indonesia merupakan rahmat Alloh. Pernyataan itu tentu lahir dari keyakinan para pendiri Republik ini akan adanya kekuasaan Alloh Yang Maha Esa yang menentukan perjalanan manusia. Dengan kata lain, senua usaha yang dilakukan untuk kemerdekaan tersebut, seperti pengorbanan, perjuangan fisik dan mental, diplomasi, dan lain-lain, tidak akan mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan, bila itu bukan karena kasih sayang Alloh kepada bangsa Indonesia.
Sebagai manusia, warga negara Indonesia adalah hamba dalam berhadapan dengan Alloh, dan orang yang merdeka dalam berhadapan sesama manusia dan makhluq Alloh yang lain. Penghambaan diri kepada Alloh adalah jati diri manusia beriman. Karena Alloh itu adalah Pencipta, Pengatur, Pemberi rahmat yang sesungguhnya, maka manusia hanya berhak memperhambakan diri kepada-Nya. Sedangkan sesama manusia, bagaimanapun tingkat intelegensia dan kemampuannya, ia tetap hamba yang tidak berbeda dari hamba Alloh yang lain. Ia tidak berhak menghambakan diri kepada orang lain atau menjadikan orang lain sebagai hambanya.
Karena itu, perbudakkan, penjajahan, penindasan, dan eksploitasi manusia atas manusia bertentangan dengan iman kepada Alloh. Inilah kalimah tauhid yang merupakan inti keimanan dalam islam, dan ini pulalah isi pesan Musa a.s. kepada Fir'aun yang diktator ketika ia dituduh sebagai orang yang tidak tahu membalas budi, padahal ia telah menerima banyak kebaikan dari Fir;aun dan bangsa Mesir. Musa a.s. menjawab :
"Nikmat (kebaikan) itu memang telah Anda berikan kepadaku, tetapi Anda telah memperbudak keturunan Israel !" (QS: 26: 22)
Kebaikan yang pernah diterima Musa dari Fir'aun tidak membuat lidahnya terhimpit dalam menyampaikan kebenaran. Sejak kecil, Musa yang bukan keturunan asli Mesir itu dibesarkan di lingkungan Fir'aun. Ia telah menerima pendidikan, mendapat perlindungan, dan banyak sekali memakan makanan orang Mesir serta meminum air sungai Nil. Semua itu adalah nikmat Alloh, dan ia tidak mengingkarinya, tetapi kebenaran harus ditegakkan.
Catatan sejarah Mesir kuno mengatakan bahwa karya monumental seperti Piramida, patung Spinks, kuburan dan kota seperti di Lembagh Raja di Luxor, semuanya dikerjakan oleh budak dan orang-orang tertindas. Fir'aun telah berbuat melebihi kodratnya sebagai manusia (Innahu thogho) dan melakukan pekerjaan tidak manusiawi dengan memperbudak rakyat yang lemah dari Bani Israel. Ia telah mengingkari jati dirinya sebagai hamba dan berpretensi sebagai Tuhan. Ia mengatakan : "Ana robbukumul a'la!" (aku adalah Tuhanmu Yang Maha Tinggi). Padahal, ia mengetahui bahwa dirinya adalah manusia, dan penghambaan hanya layak diberikan kepada Alloh.
Dengan perbuatan sewenang-wenang itu, Fir'aun telah melakukan kesalahan besar berupa syirik kepada Alloh yang menjadi lawan utama dari tauhid. Karena itu, Musa menegurnya dan mengajaknya kembali ke jalan yang benar, tetapi ia tetap membangkang dengan bertahan sebagai thoghuth (diktator). Akhirnya berlaku hukum Alloh terhdap para pembangkang. Ia ditenggelamkan Alloh di Laut Merah, dan mayatnya diselamatkan sebagai bukti bagi sejarah atas kebangkangannya (QS : 10 : 92)
Al-Qur'an menyebutkan berbagai bentuk thughyan (dictatorship) yang dilakukan oleh Fir'aun. Diktator Mesir ini antara lain melakukan pembunuhan terhadap anak laki-laki (QS : 2 : 49), membohongi ayat-ayat Alloh (QS : 3 : 11), membuat kezaliman (QS : 7 :103), mengadakan penganiayaan terhadap rakyat (QS : 7 : 141) dan pemborosan, menjalankan pemerintahan sewenang-wenang (QS : 20 :43), memecah belah dan merusak masyarakat (QS : 28 : 4), dan melakukan berbagai kesalahan dan kejahatan lainnya (QS : 28 : 8 dan 10 : 75). Semua kejahatan tersebut bersumber dari ketiadaan iman kepada Alloh Yang Maha Esa dan kebangkangan kepada kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang membelakangi Alloh memang cenderung kepada absolutisme dan kediktatoran. Itu dibuktikan oleh sejarah dari dahulu sampai sekarang, dari zaman Fir'aun sampai ke zaman kejayaan penguasa komunis, Marcos, Reza Pahlevi atau Soeharto di zaman modern.
Pledoi Musa terhadap Fir'aun di atas berisikan pembelaan terhadap suatu bentuk kebangsaan. Musa berusaha untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan bangsa Mesir di bawah Fir'aun. Harus di catat bahwa ini bukanlah sebuah kabangsaan sekular. Simbol kebangsaan sekular biasanya adalah "right or wrong is my country" (Benar atau salah adalah negeriku), yang cenderung ditafsirkan sebagai membela negara nasional secara membabi buta. Sebagai Rosul Alloh, maka pembelaan Musa terhadap Bani Israel bukanlah pembelaan terhadap Bani Israel sebagai suatu bangsa, tetapi pembelaan terhadap kebenaran dan keadilan di mana Bani Israel kebetulan menjadi korban kezaliman.
Bani Israel adalah keturunan Israel, dan Israel adalah nama lain dari Nabi Alloh, Ya'qub. Bani Israel memang keturunan orang baik-baik, yaitu Nabi Ibrohim dan Nabi Ya'qub, tetapi keturunan saja tidak menjamin seseorang untuk berpegang kepada kebenaran dan keadilan serta menjauhi kejahatan dan kezaliman. Alloh telah menunjukkan jalan kebenaran dan kebatilan, tetapi pilihan bebas tetap berada di tangan manusia, apakah akan memilih kebenaran atau kebatilan. Ini antara lain terbukti dari praktek kebangsaan Israel hari ini yang berusaha membela suatu bangsa dengan menghancurkan bangsa lain. Alloh memang telah menjanjikan kepemimpinan (imam) kepada anak cucu Nabi Ibrohim (QS : 2 : 124), tetapi tidak untuk pelaku kezaliman (La yanalu 'ahdi adz-dzolimin QS : 2 : 124). "Dzulm" (kezaliman) disamping berarti kezaliman, penindasan dan perbudakan, juga berarti kebangkangan, pengingkaran dan kemusyrikan kepada Alloh. Dengan demikian, bila Israel tidak menegakkan kebenaran dan keadilan kepada semua warga, Israel dan non Israel, maka ia tidak akan mendapat perlindungan dari Alloh.
Perjuangan Musa di atas adalah perjuangan kemerdekaan. Begitu juga perjuangan para Nabi dan Rosul yang lain, termasuk Nabi Muhammad SAW. Yaitu perjuangan untuk mengangkat harkat diri manusia sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Yaitu manusia telah dimuliakan oleh Alloh dengan memberinya kemampuan di darat dan di laut sehingga dapat berguna untuk sesama manusia (QS : 17 : 70 dan 2 : 164). Perjuangan tersebut adalah perjuangan untuk melawan thoghuth dan meyakini kekuasaan Alloh Yang Esa (tauhid). bila ini dilakukan, maka menurut Al-Qur'an (surat 2 ayat 256), bangsa yang cinta kebenaran, keadilan, dan perdamaian, telah mempunyai pegangan yang kokoh sekali untuk meneruskan cita-cita luhur bangsa.
Ajakan Nabi Muhammad SAW kepada suku Quraisy dan kabila-kabilah Arab yang lain sebenarnya adalah ajakan untuk meninggalkan thoghuth dan menyembah Alloh Yang Esa. Hal itu karena masyarakat telah jauh tersesat dari jalan yang benar. Di samping hamba Alloh, mereka juga menjadi hamba manusia, hamba pria, hamba wanita, hamba setan dan ifrid, hamba patung, hamba uang, hamba kekuasaan, dan lain-lain. Mereka telah bersikap tidak adil kepada Alloh sebagai wujud satu-satunya yang berhak mempunyai hamba dan objek penghambaan diri. Mereka juga telah bersikap tidak adil kepada sesama manusia dengan memperbudak orang lain, merendahkan martabat wanita, mengacaukan keturunan, membunuh anak-anak, dan berbagai kejahatan lainnya terhadap kemanusiaan. Zaman sebelum islam disebut zaman kebodohan (jahiliyyah) bukan karena ketiadaan ilmu dan teknologi maju saja, tetapi karena pola kehidupan mereka tidak lagi mengikuti jalur yang patut, yang masuk akal, dan sejalan dengan kemanusiaan. Mereka melakukan dua kejahatan sekaligus : terhadap Alloh dan terhadap manusia.
Kampanye Nabi SAW untuk membebaskan manusia dari kebodohan ini diikuti oleh para kholifah beliau. Karena itu, sebelum pembebasan terhadap sebuah negeri, komandan pasukan islam selalu menyampaikan ajakan perdamaian agar menerima islam. : "Islamlah anda, anda akan aman dan selamat!". Dengan menerima islam berarti meninggalkan semua bentuk thoghut dan menerima Alloh sebagai Tuhan satu-satunya yang berhak di sembah serta didengarkan suruhan dan larangan-Nya. Bila seluruh negeri menerima ajakan ini, maka tiada pasukan yang akan menaklukkan mereka dan mereka akan hidup rukun dan damai di bawah bendera islam. Sungguhpun demikian, yang sering terjadi adalah penguasa thoghuth yang ada di suatu negeri menampik seruan damai itu dan menghalang-halangi warganya untuk menerima pembebasan. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kekuatan senjata yang berbicara.
Perang pembebasan yang dilakukan oleh ummat islam pada zaman para sahabat Nabi dan tabi'in tersebut tak ubahnya seperti perang kemerdekaan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap pasukan Belanda yang menghalang-halangi warga Indonesia untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan yang merupakan hak mereka sebagai hamba Alloh. Mereka meneriakkan "Allohu Akbar!" dalam perang mengusir penjajah ini, seolah-olah mengumumkan kepada dunia bahwa hanya Alloh Yang Maha Agung saja yang berhak memperhamba penduduk Indonesia, dan bukan manusia yang datang dari belahan bumi yang lain.
Hanya dengan melawan thoghuth dan beriman kepada Alloh Yang Esa semata, manusia akan terbebas dari segala bentuk perbudakkan dan penindasan. Thoghuth adalah Tuhan atau sesuatu yang dianggap berkuasa selain Alloh. Seorang diktator dipandang sebagai thoghuth karena ia memandang dirinya sangant berkuasa sehingga ia sampai hati menindas dan meperbudak orang lain yang juga manusia dirinya. Sebuah negara yang memandang dirinya berkuasa seperti Alloh, yang menghalalkan dan mengharamkan, menghidupkan dan mematikan, memaksa dan menundukkan, yang memecahkan dan mengendalikan, di luar ketentuan Alloh, juga merupakan thoghuth.
Orang yang menegakkan kebenaran, keadilan, perdamaian, persatuan, dan seterusnya, akan merasakan dirinya merdeka dan terbebas dari segala tekanan, sekalipun barangkali fisiknya dipenjarakan atau mentalnya ditekan. Ia bebas dari tuntutan hati nuraninya sendiri karena telah menyampaikan kebenaran, melaksanakan keadilan, menyebarkan perdamaian, dan menegakkan persatuan, yang merupakan kualitas ketuhanan. Tuhan itulah kebenaran, keadilan, kedamaian dan keesaan. Inilah fithrah Alloh atau ciptaan Alloh dalam diri manusia. Itulah agama yang hanif (selalu berpihak kepada kebenaran, keadilan, keesaan) yang tidak pernah berubah dari Adam a.s. sampai Muhammad SAW.
"Hadapkanlah pandanganmu kepada agama yang hanif yang merupakan fithrah yang diciptakan oleh Alloh. Tidak ada perubahan terhadap ciptaan Alloh. Itulah agama yang benar. Sayang sekali banyak orang yang tidak mengetahuinya."
(QS : 30 : 30)
nb: Thoghuth adalah setiap hukum yang tidak berdiri di atas hukum Alloh, setiap kekuasaan yang tidak berdiri di atas kekuasaan Alloh dan setiap syariat (undang-undang) yang tidak berdiri di atas syariat Alloh.
Dikutip dari buku Politik & hukum dalam Al-Qur'an oleh Dr. Rifyal ka'bah MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar